Kamis, 06 Desember 2012

REVIEWS


Editorial Reviews




Readers often ask where I get my ideas. The better question would be: Where don’t I?
Many people know that The Passage was born from a challenge laid down by my eight-year-old daughter to write the story of “a girl who saves the world.” This wasn’t exactly what I wanted to hear—it seemed a trifle ambitious—but a dare is a dare. For the next three months she joined me on my daily jog, following along on her bicycle, while the two of us hashed out the plot. As the weeks passed, I realized we were onto something much better than the book I was supposed to be writing. I put that book aside, wrote the first chapter of The Passage, and never looked back.
So don’t ever think you shouldn’t listen to your kids.
But my daughter’s challenge wasn’t the only inspiration. When I write a novel, my goal is to put absolutely everything I have into its pages, right down to the interesting thing that happened yesterday. I know I’m done when my mind feels as empty as a leaky bucket. So many influences, real and imagined, went into The Passage that I couldn’t list them if I tried. But one memory that stands out is the night my family and I tried to flee Houston in advance of hurricane Rita. Apparently, about a million other people had the same idea. After five hours on the road, we’d made it all of sixty miles. The highways were clogged with cars that had long since run out of gas; every minimart and gas station had been picked clean. I jumped the median and made it home in a little under an hour, my gas gauge floating just above ‘E’.
Rita missed Houston, slamming into a less-inhabited section of Texas and Louisiana coastline. But the experience of being in a large urban evacuation, with its feeling of barely-bottled panic, was one I’ll never forget, and is everywhere in the pages of The Passage.
So where did The Twelve come from?
Again, many places. But if I had to pick one source, it would be the strong women in my life. No bones about it: Gentlemen, if you doubt for a second that women are tougher than we are, go watch one have a baby. So here you have Alicia, the woman warrior with her blades and crossbow; here you have Amy, the spiritual leader and visionary; here you have one of my favorite new characters, Lore DeVeer, whose mechanical savvy is matched only by her unbridled sensuality; here you have a fourth woman (sorry, can’t tell you who) whose maternal strength is as powerful as any great spectacle of nature. As I wrote The Twelve, I came to understand that these powerful characters were the backbone of the tale. Even more, they are a tribute to all the amazing women I am privileged to know, befriend, and in one very lucky instance, marry.
Hope you enjoy The Twelve. All eyes.

Kamis, 27 September 2012

Novel “Ketika Cinta Bertasbih”

17 09 2008
Azzam, seorang sosok pemuda sederhana yang sedang menyelesaikan
studinya di Kampus Al Azhar. Tapi karena kewajibannya sebagai anak
tertua dalam keluarga setelah bapaknya meninggal, dialah yang
menanggung kehidupan keluarganya yang ada di Solo.Jadilah
selain sebagai mahasiswa, dia juga bekerja keras untuk memenuhi
kewajibannya sebagai kepala keluarga. Agar dia bisa membantu ibunya dan
agar adik-adiknya mendapatkan pendidikan yang layak, Azzam rela
meninggalkan kuliahnya untuk sementara dan lebih berfokus untuk mencari
rezekinya dengan berjualan tempe dan bakso. Meski terkadang ada rasa
iri melihat teman-teman satu angkatannya yang sudah terlebih dahulu
lulus, bahkan ada yang hampir menyelesaikan S2-nya tapi Azzam segera
sadar kalau dia tidak sama dengan teman-temannya yang lain. Azzam lebih
dikenal sebagai tukang tempe di kalangan mahasiswa Indonesia yang
sedang kuliah di Al Azhar.Selain itu Azzam juga sering
mendapatkan undangan dari duta besar Indonesia yang ada di Mesir untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi pada acara-acara kebesaran. Jadi selain
terkenal di kalangan mahasiswa sebagai tukang tempe, Azzam juga cukup
terkenal di kalangan para duta besar. Dari sinilah Azzam mengenal sosok
Eliana.Azzam dikenal sebagai sosok yang tegas dan dewasa. Dia
sangat memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan
sehari-harinya. Di kalangan teman-temannya pun Azzam menjadi panutan
dan sosok yang bisa diandalkan.Eliana, putri salah satu duta
besar Indonesia di Mesir pernah cukup memikat hatinya. Eliana adalah
sosok yang sempurna secara fisik. Putri duta besar, cantik dan salah
seorang lulusan universitas Jerman. Selain itu dia juga sedang mulai
merambah ke dunia sinetron. Bahkan dia sudah membintangi sebuah
sinetron yang cukup memikat hati para penonton di Indonesia. Tapi
prinsip-prinsip keIslaman yang Azzam pegang teguh membuat Azzam mampu
menepis perasaannya.Di sini juga Azzam untuk pertama kalinya
bertemu secara tidak sengaja dengan Anna Althafunnisa, seorang
perempuan yang hendak ia lamar tapi kemudian ditolak oleh kerabat
dekatnya Anna karena dia merasa Azzam tidak cukup pantas untuk Anna.
Azzam akhirnya mampu melanjutkan kuliahnya setelah adiknya
menyelesaikan pendidikannya. Dan setelah dia lulus dari AL Azhar dengan
nilai yang cukup memuaskan, akhirnya setelah 9 tahun terpisah dengan
keluarganya tanpa pernah pulang, dia pun pulang dan kembali ke
tengah-tengah keluarga tercintanya.Lanjutan cerita Ketika Cinta Bertasbih ini masih sangat menarik dari
segi cerita. Banyak sekali kejutan-kejutan yang dimunculkan oleh Kang
Abik baik kejutan versi kecil maupun kejutan versi besar yang tak
terduga sama sekali. Kejutan ini menurut saya sangat menarik
karena beberapa kasus sangat bertentangan dengan penggambaran karakter
yang sangat Islami. Kasus-kasus yang dimunculkan mungkin sangat tidak
terduga akan dialami oleh karakter-karakter yang digambarkan sangat
taat dengan aturan-aturan agama. Jika di seri pertama, terdapat kasus
HIV/AIDS yang pasti secara logika sangat jauh dari kehidupan seorang
mahasiswa muslim di Mesir, seri kedua ini juga menampilkan kasus-kasus
“mustahil” yang bisa dialami oleh seorang taat beragama seperti
karakter-karakter di novel ini. Penulis menjamin, kejutan-kejutan
tersebut dapat membuat para pembaca tidak akan melepaskan novel ini
sampai halaman terakhir. Perpaduan bab ke bab juga sangat apik dikemas
oleh Kang Abik. Ini dapat dilihat dari alur yang rapi dari awal sampai
akhir.Keahlian Kang Abik menulis novel dengan cerita yang bagus
dan alur yang tidak terduga pastilah tidak lagi diragukan oleh para
pencinta novel Islami di Indonesia. Cerita-cerita bagus tersebut makin
menarik minat para pembaca dengan adanya pesan-pesan moral yang lekat
didalamnya. Namun, cerita yang bagus juga harus dipadukan dengan teknik
pengeditan yang bagus pula. Karena jika tidak, sedikit atau banyak
pasti akan mengganggu pembaca.Hal inilah yang penulis rasakan
ketika membaca Ketika Cinta Bertasbih 2. Dibandingkan Ketika Cinta
Bertasbih 1, kali ini penulis menemukan banyak sekali typhoo atau salah
ketik yang terdapat di novel ini. Selain itu, banyak juga penyebutan
nama karakter yang salah. Sebagai contoh, pada situasi di mana hanya
ada Husna dan Azzam, di salah satu percakapan Azzam malah menyebutkan
nama Anna. Bayangkan ketika Anda tengah menikmati suatu alur cerita
yang seru, kemudian nama salah satu karakter di dalamnya salah dengan
menyebut nama karakter yang lain. Hal tersebut pastilah sangat
mengganggu konsentrasi dan kepuasan para pembaca.Menurut
penulis, novel yang bagus bukan hanya dilihat dari segi cerita namun
keseluruhan paket novel di mana di dalamnya juga terdapat teknik
pengeditan yang baik. Mungkin novel ini hanya bisa dibilang cukup bagus
karena paket sebuah novel yang bagus tidak bisa pembaca dapatkan di
novel ini. Menurut salah satu pembaca lain novel ini, hal tersebut
mungkin dikarenakan waktu pengerjaan yang hanya 1 bulan. Tapi hal
tersebut seharusnya tidak menjadi alasan karena pastinya pembaca tidak
akan keberatan menunggu lama untuk sebuah novel dengan paket dan
kualitas yang baik.